Keberadaan aturan terkait gugurnya hak menuntut oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) merupakan elemen penting dalam sistem peradilan pidana. Hal ini berfungsi untuk menjaga keadilan dan memastikan bahwa proses hukum berjalan sesuai dengan prinsip-prinsip yang telah ditetapkan. KUHP Lama mengatur situasi yang menyebabkan JPU tidak boleh melakukan penuntutan terhadap terdakwa dalam Buku I Bab VIII Pasal 76, 77, 78, dan 82.
Salah satu prinsip penting dalam hukum pidana adalah “Nebis In Idem,” yang berarti seseorang tidak boleh dituntut dua kali untuk perkara yang sama. Prinsip ini diatur dalam Pasal 76 KUHP Lama dan bertujuan untuk melindungi seseorang dari penuntutan berulang atas suatu tindak pidana yang telah diputus oleh hakim pengadilan berkekuatan hukum tetap. Prinsip ini menegaskan bahwa keadilan harus ditegakkan secara tepat dan tidak boleh ada penyalahgunaan proses hukum.
Gugurnya hak menuntut juga terjadi apabila terdakwa meninggal dunia, sebagaimana diatur dalam Pasal 77 KUHP Lama. Pasal ini menjelaskan bahwa hak menuntut hukuman menjadi gugur karena pidana bersifat pribadi dan tidak dapat dibebankan kepada ahli waris atau keluarga terdakwa. Selain itu, kadaluarsa atau tenggat waktu untuk melakukan penuntutan juga menjadi faktor yang menyebabkan hak menuntut gugur, diatur dalam Pasal 78-81 KUHP Lama. Hal ini terjadi jika pelaku melarikan diri dan lewat waktu yang telah ditetapkan oleh undang-undang.
Dalam beberapa kasus, penyelesaian perkara di luar proses peradilan juga dapat menyebabkan gugurnya hak menuntut. Hal ini terjadi jika pelaku membayar maksimum denda yang diancamkan, ditambah dengan biaya perkara yang telah dikeluarkan oleh jaksa, sebagaimana diatur dalam Pasal 82 KUHP Lama. Mekanisme ini memberikan ruang bagi penyelesaian perkara secara damai dan efisien, tanpa melalui proses pengadilan yang panjang.
Selain yang diatur dalam KUHP, gugurnya hak menuntut juga diatur dalam UUD 1945 Pasal 14 ayat 2, yaitu melalui mekanisme abolisi dan amnesti. Abolisi merupakan hak Presiden untuk memberhentikan penuntutan terhadap pelanggaran hukum yang sudah berjalan, sementara amnesti adalah pernyataan pengampunan dan penghapusan hukuman. Amnesti dapat diberikan kepada mereka yang sudah maupun yang belum dipidana, menjadikannya alat penting dalam mengatasi situasi hukum tertentu.
Bogi Yuliawan, S.H Bersama Dekan Fakultas Hukum Universitas Krisnadwipayana dan juga guru besar ilmu HTN UNKRIS (Prof. Dr. Abdul Latif, S.H., M.Hum).
Bogi Yuliawan, S.H adalah lulusan Sarjana Hukum Fakultas Hukum Universitas Pancasila 2006 dan sekarang sedang menyelesaikan studi magister hukum di Fakultas Hukum Universitas Krisnadwipayana.