Dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Gratifikasi adalah pemberian dalam arti luas yang meliputi pemberian uang, barang, rabat atau diskon, komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuman-cuman dan fasilitas lainnya. Perbuatan gratifikasi termasuk kedalam kategori tindak pidana korupsi dalam bentuk suap menyuap.
Gratifikasi atau suap dalam bahasa arab disebut dengan risywah. Secara etimologis risywah berasal dari kata risywah, rasywah, atau rusywah yang berarti al-ja’lu (upah, hadiah, komisi atau suap). Sedangkan secara terminologis, Risywah menurut Ibnu Hazm adalah sesuatu yang diberikan oleh seseorang agar diberikan keputusan untuknya dengan cara batil atau agar diberikan kedudukan atau memberikan keuntungan bagi yang memberikan dengan menzalimi orang lain. Tindakan risywah meliputi tiga unsur pokok yaitu pihak pemberi (ar-rasyi), pihak penerima (al-murtasyi), dan barang pemberian (al-mursya’lah). Tetapi dalam kasus tertentu terdapat timbulnya unsur keempat yaitu pihak perantara atau broker untuk menghubungkan para pihak terkait untuk mencapai kesepakatan.
Mengenai perbuatan gratifikasi terdapat perbedaan pendapat diantara para ulama. Ada yang berpendapat haram dan ada juga yang berpendapat halal. Gratifikasi yang haram ulama berpendapat adalah perbuatan menyuap untuk membenarkan yang salah dan menyalahkan yang benar. Sedangkan gratifikasi yang halal ulama berpendapat adalah perbuatan untuk memperjuangkan hak yang seharusnya diterima oleh si pemberi uang atau untuk menolak kemudaratan. Klasifikasi dua jenis gratifikasi yang haram dan halal tidak dijelaskan secara spesifik dalam berbagai kitab karya para ulama. Terkait klasifikasi gratifikasi tersebut, Ibnu Taimiyyah berpendapat ”sesungguhnya seseorang yang memberikan hadiah kepada petugas agar ia melakukan sesuatu yang tidak dibenarkan untuknya adalah haram bagi pemberi hadiah dan penerimanya karena hal ini termasuk suap sebagaimana yang disabdakan oleh Nabi SAW ’Allah melaknat penyuap dan yang disuap’ sementara itu, jika seseorang memberi hadiah agar terhindar dari kezaliman atau agar mendapatkan hak yang wajib diberikan kepadanya, hadiah semacam ini hanya haram bagi penerima, tetapi halal bagi pemberi kalau ia telah memberikan hadiah tersebut kepadanya”.
Pendapat Ibnu Taimiyyah tersebut berlandaskan kepada sabda Rasulullah SAW yaitu: ”Sesungguhnya aku akan memberikan sesuatu kepada salah seorang dari mereka”. Lalu keluar api dari bagian bawah ketiaknya. Ketika itu ditanyakan kepada beliau, ”Wahai Rasulullah, mengapa engkau memberikan (sesuatu) kepada mereka?”. Beliau menjawab, ”Mereka enggan (tidak bosan-bosan akan terus meminta), padahal Allah tidak berkenan kalau aku bersifat bakhil.” (H.R. Ahmad)
Hadist tersebut lah yang menjadikan alasan mengenai adanya perbuatan suap yang diperbolehkan, yaitu suap untuk memperoleh hak yang seharusnya diterima atau untuk menolak kezaliman. Sanksi hukum bagi pelaku gratifikasi sama hal nya dengan sanksi hukum bagi pelaku penggelapan yakni hukuman takzir. Hal ini disebabkan karena gratifikasi tidak termasuk kedalam kategori jarimah qishash maupun jarimah hudud. Hukuman takzir adalah hukuman yang tidak diatur secara spesifik oleh Al-Qur’an dan Hadist, namun dapat diatur dan ditentukan oleh pemerintah setempat.
Sumber: M. Nurul Irfan, Gratifikasi dan Kriminalitas Seksual Dalam Hukum Pidana Islam, Jakarta: Amzah, 2014.