CATATAN TENTANG POLEMIK PUTUSAN MK DAN HAK LEGISLASI DPR

Menurut Poetra Adi Soerjo selaku Direktur Eksekutif Open Parliament Institute menyampaikan catatan “Tentang Polemik Putusan MK dan Hak Legislasi DPR”  yaitu:

  1. Mahkamah Konstitusi adalah lembaga yudikatif yang melaksanakan kekuasaan kehakiman, bukan lembaga legislatif yang berwenang membuat undang-undang. Dalam menjalankan kewenangannya Mahkamah Konstitusi tidak boleh melampaui ranah kekuasaan lain di kamar eksekutif dan legislatif.
  2. Mahkamah Konstitusi adalah negative legislator yang berposisi sebagai pembatal norma yang bertentangan dengan konstitusi, bukan perumus norma baru (positif legislator). Sehingga tidak boleh memuat putusan yang berisi pengaturan, termasuk cara, isi dan lembaga yang mengatur isi suatu undang-undang, karena hal tersebut merupakan domain lembaga legislatif.
  3. Terkait Putusan MK 60/PUU-XXII/2024, Partai Buruh dan Partai Gelora memohonkan uji konstitusionalitas terbatas pada frase “ketentuan itu hanya berlaku untuk partai politik yang memperoleh kursi DPRD” di pasal 40 ayat (3) UU Pilkada. Namun Mahkamah Konstitusi justru membatalkan norma lain di Pasal 40 ayat (1), seusuatu yang tidak dimohonkan oleh Pemohon (ultra petita).
  4. Dalam Putusan tersebut, Mahkamah Konstitusi tidak hanya membatalkan norma yang tidak dimohonkan, namun bahkan melampaui kewenangannya dengan membuat norma baru atas pasal yang tidak dimohonkan tersebut dengan mengatur ambang batas pencalonan pilkada sesuai persentase jumlah penduduk yang merupakan kewenangan lembaga legislatif. Di sini Mahkamah Konstitusi telah secara nyata melampaui kewenangannya dengan menjadi Positif Legislator.
  5. Di sisi lain, di DPR RI sejak jauh hari memang sedang melakukan revisi terhadap UU pilkada. Sehingga seluruh syarat formil untuk melakukan legislative review sebagaimana kewenangan DPR di dalam UUD 1945 telah terpenuhi.
  6. Ada dua materi yang menjadi sorotan masyarakat dalam proses legilasi tersebut. Yaitu usia calon Gubernur dan wakil Gubernur dan Ambang Batas pencalonan dalam pilkada yang sebelumnya telah diputuskan MK dalam putusan 60 dan putusan 70.
  7. Bahwa materi tentang batas usia dan ambang batas dalam pemilu adalah kebijakan hukum terbuka yang merupakan domain pembuat UU. Dalam hal ini maka perbedaan materi dalam putusan MK dengan produk legislasi DPR bukanlah pembangkangan terhadap putusan MK. Karena DPR sesuai kewenangannya dalam konstitusi telah membuat UU baru yang mengatur materi baru.
  8. Meski demikian, dalam melakukan legislative review tersebut, DPR tetaplah merujuk apa yang telah menjadi putusan MK. Sehingga Putusan MK 60 untuk seluruhnya dimasukan dalam UU Pilkada baru sebagai ketentuan untuk pengaturan ambang batas bagi Partai Non Parlemen. Sementara terkait usia Calon Gubernur dan Wakil Gubernur, DPR RI mempertegas produk UU lamanya yang sebelumnya sumir sehingga melahirkan gugatan baik di MK dan juga di MA.
  9. Dengan demikian, tindakan DPR RI melakukan legislative review atas UU Pilkada adalah tindakan yang sah dan konstitusional sesuai dengan kewenangan DPR RI dalam UUD 1945 sebagai pembuat UU. Adalah pembangkangan terhadap konstitusi jika ada kelompok yang menyebut tindakan DPR RI menjalankan fungsi legislasinya sebagai bentuk penganuliran terhadap putusan MK dan terlebih jika ada yang menyebut sebagai pembangkangan terhadap putusan MK. Dalam konstitusi, kekuasaan telah dibagi dalam ranah kamar kekuasaan di mana antar kamar melakukan fungsi check and balances.
  10. Situasi ini baik bagi pendewasaan sistem ketatanegaraan kita, dan harus menjadi pembelajaran bagi tiap kamar kekuasaan, agar tiap kamar dapat memahami batas dan ranah kekuasaan masing masing. Kejadian ini mengharuskan DPR RI sebagai pembuat UU untuk mengevaluasi kembali begitu banyak celah dalam UU Mahkamah Konstitusi yang melahirkan kompleksiitas sistem ketatanegaraan. Utamanya terkait peluang MK melakukan ultra petita dan menjadi positif legislator dalam berbagai putusannya. Tak jarang bahkan MK sebagai lembaga yudikatif, dalam putusannya sering memposisikan diri sebagai Legislatif dan bahkan eksekutif.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *