Asas retroaktif merupakan prinsip hukum yang memungkinkan suatu peraturan perundang-undangan diberlakukan surut, yakni mengatur peristiwa yang terjadi sebelum aturan tersebut diundangkan. Dalam konteks hukum di Indonesia, asas ini menjadi perhatian khusus karena berpotensi bertentangan dengan prinsip non-retroaktif yang lebih umum diterapkan. Prinsip non-retroaktif sendiri berfungsi untuk melindungi kepastian hukum, di mana hukum tidak dapat diterapkan pada tindakan atau peristiwa yang terjadi sebelum hukum tersebut ada.
Namun, Mahkamah Konstitusi (MK) dalam beberapa putusannya telah memberikan pengecualian terhadap penerapan asas retroaktif. Salah satu contoh yang penting adalah putusan MK yang berkaitan dengan pelanggaran hak asasi manusia berat, seperti kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan. MK menyatakan bahwa untuk kejahatan-kejahatan tersebut, asas retroaktif dapat diberlakukan karena berkaitan dengan kewajiban internasional Indonesia dalam menjamin keadilan bagi para korban dan memenuhi norma internasional.
Pengecualian terhadap prinsip non-retroaktif diakui secara eksplisit dalam Pasal 28I ayat (1) UUD 1945, yang menyatakan bahwa hak untuk tidak dikenakan hukum yang berlaku surut merupakan hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun. Meski demikian, dalam kasus pelanggaran HAM berat, prinsip ini dapat dikesampingkan demi keadilan dan penegakan hukum yang adil, terutama ketika berhadapan dengan pelaku pelanggaran HAM yang bersifat internasional.
Penerapan asas retroaktif ini tetap menimbulkan perdebatan di kalangan akademisi dan praktisi hukum. Beberapa pihak menganggap bahwa penerapan asas ini berisiko mengurangi kepastian hukum dan dapat membuka ruang bagi penyalahgunaan kekuasaan. Sebaliknya, pendukung penerapan asas retroaktif melihatnya sebagai instrumen penting dalam memberikan keadilan bagi para korban, terutama dalam kasus-kasus yang melibatkan kejahatan besar terhadap kemanusiaan.
Dalam putusan-putusannya, MK berusaha menjaga keseimbangan antara keadilan substantif dan kepastian hukum. Mahkamah menekankan bahwa penerapan asas retroaktif harus dilakukan dengan hati-hati dan hanya pada kasus-kasus yang sangat spesifik, seperti pelanggaran HAM berat. Keputusan ini didasarkan pada komitmen Indonesia terhadap norma-norma internasional yang melindungi hak-hak asasi manusia secara universal.
Dengan demikian, melalui putusan MK, penerapan asas retroaktif di Indonesia memiliki batasan yang jelas. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun prinsip non-retroaktif menjadi dasar hukum nasional, pengecualian dapat dilakukan demi menegakkan keadilan dan memenuhi kewajiban internasional, terutama dalam hal pelanggaran HAM berat yang tidak boleh dibiarkan tanpa sanksi hukum.