Banyak Kelas Menengah Turun Kasta, Kilas Balik Ekonomi RI 10 Tahun Silam

Momen berakhirnya periode Jokowi,  setelah satu dasawarsa memerintah, menjadi titik refleksi terkait apa saja yang telah dicapai oleh pemerintahan yang ia pimpin.

Di bidang ekonomi, salah satu indikator penting yang bisa dilihat adalah capaian pertumbuhan ekonomi alias Produk Domestik Bruto (PDB). Pada tahun terakhir Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berkuasa, juga tahun pertama Jokowi menghuni istana yakni pada 2014, Indonesia tercatat memiliki PDB atas dasar harga konstan sebesar Rp8.564,86 triliun.

Selama triwulan I-2024 kelompok provinsi di Pulau Jawa masih menunjukkan pengaruhnya secara spasial dalam perekonomian Indonesia dengan mencatat peranan sebesar 57,70 persen walaupun mengalami perlambatan pertumbuhan sebesar 4,84 persen dibanding triwulan I-2023 (y-on-y).

Kelas menengah ‘turun kelas’

Capaian pertumbuhan ekonomi RI selama satu dasawarsa Jokowi, bisa disebut mengecewakan karena lebih buruk ketimbang pendahulunya.

Tingkat kesejahteraan mayoritas masyarakat menurun, di mana banyak kelas menengah akhirnya terdegradasi alias turun kelas kemampuan konsumsinya, yang bahkan telah terjadi sebelum pandemi Covid-19 meruyak perekonomian.

Pelemahan daya beli kelas menengah diduga sebagai akibat dari pertumbuhan produktivitas yang melemah dari aktivitas produksi di Indonesia. Kemerosotan daya beli kelas menengah akhirnya memicu dampak spiral menilik posisi kelas konsumen ini yang memegang peranan penting dalam pertumbuhan ekonomi.

Kelas menengah didefinisikan sebagai individu yang menikmati keamanan ekonomi, bebas dari kekhawatiran akan kemiskinan dan mengalokasikan pendapatan untuk konsumsi yang bersifat diskresioner, tak sekadar kebutuhan primer. Secara spesifik, kelas menengah adalah mereka yang memiliki pengeluaran antara Rp1,77 juta-Rp8,62 juta per orang per bulan.

Di Indonesia, jumlah individu yang termasuk kategori ini terus merosot menjadi cerminan penurunan kesejahteraan secara umum masyarakat Indonesia dalam satu dasawarsa terakhir.

Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira, membeberkan analisisnya mengenai lapangan pekerjaan yang semakin sempit.
Menurutnya, perkembangan teknologi membuat pergeseran sektor pekerja formal ke sektor nonformal. Pergeseran ini menjadi salah satu indikator menyempitnya lapangan pekerjaan yang ada saat ini.
Penyebab ketidaksesuaian antara kebutuhan perusahaan dengan kemampuan yang ditawarkan angkatan kerja yaitu pengalaman kerja yang belum matang. Menariknya, Adham mengakui jika Gen Z pada umumnya lebih sulit mendapatkan pekerjaan dibanding generasi sebelumnya.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *